A.
Teori
Belajar
Menurut
(Slameto,2010) belajar didefinisikan sebagai suatu proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya, selain itu (Mustaqim dan Abdul Wahib,2010) mendefinisikan bahwa
belajar itu adalah usaha untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi-kondisi atau
situasi-situasi di sekitar kita,dalam menyesuaikan diri itu termasuk
mendapatkan kecekatan pengertian-pengertian yang baru ,atau sikap-sikap yang
baru.
Behaviorisme
adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan
oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat
diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi
yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau
mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang
diinginkan.
dalam teori belajar ini, yang terpenting adalah masukan atau
input yang berupa stimulus dan keluaran atau out put yang berupa respon.
Sedangkan apa yang terjadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak penting
diperhatikan, karena tidak dapat diamati dan diukur. Yang hanya dapat diamati
adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa saja yang diberikan guru
(stimulus), dan apa yang dihasilkan siswa (respon), semuanya dapat diamati dan
diukur.
Premis
dasar teori belajar behavioristik menyatakan bahwa interaksi antara stimulus
respons dan penguatan terjadi dalam suatu proses belajar. Teori belajar
behavioristik sangat menekankan pada hasil belajar, yaitu perubahan tingkah
laku yang dapat dilihat. Hasil belajar diperoleh dari proses penguatan atas
respons yang muncul terhadap stimulus yang bervariasi.
Salah
satu teori belajar behavioristik connectionism dari Thorndike menyatakan bahwa
belajar merupakan proses coba-coba sebagai reaksi terhadap stimulus. Respons
yang benar akan semakin diperkuat melalui serangkaian proses coba-coba,
sementara respons yang tidak benar akan menghilang. Dari teori ini Thorndike
mengemukakan hukum belajar yang disebut law of effect artinya jika sebuah
respons menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respon
akan semakin kuat.sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai
respons, semakin lemah pula hubungan stimulus respons tersebut.
Ciri
dari teori belajar behavioristik adalah mengutamakan
unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan
lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya
latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan
dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Dalam hal konsep pembelajaran, proses cenderung pasif berkenaan dengan teori
behavioris. Pelajar menggunakan tingkat keterampilan pengolahan rendah untuk
memahami materi dan material sering terisolasi dari konteks dunia nyata atau
situasi. Little tanggung jawab ditempatkan pada pembelajar mengenai
pendidikannya sendiri.
Pembelajaran
yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan
mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang
belajar atau pebelajar.
Tujuan
pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada
penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut
pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam
bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan
pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari
bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat,
sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib
dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku
wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi
menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang
benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan
guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya.
Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.
Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
Langkah
umum yang dapat dilakukan guru dalam menerapkan teori behaviorisme dalam proses
pembelajaran adalah:
1. Mengidentifikasi
tujuan pembelajaran;
2. Melakukan
analisis pembelajaran;
3. Mengidentifikasi
karakteristik dan kemampuan awal pembelajar;
4. Menentukan
indikator-indikator keberhasilan belajar;
5. Mengembangkan
bahan ajar (pokok bahasan, topik, dll);
6. Mengembangkan
strategi pembelajaran (kegiatan, metode, media dan waktu);
7. Mengamati
stimulus yang mungkin dapat diberikan (latihan, tugas, tes dan sejenisnya);
8. Mengamati
dan menganalisis respons pembelajar;
9. Memberikan
penguatan (reinfrocement) baik posistif maupun negatif; serta
10. Merevisi
kegiatan pembelajaran.
Ada
beberapa tokoh teori behavioristik. Tokoh-tokoh aliran behavioristik tersebut
antaranya adalah Thorndike dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para
tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
1. Teori
Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike,
belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa
yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau
hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah
reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa
pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat
kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak
konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat
mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur
tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan
teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar
yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3)
hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana
hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
2. Teori
Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang
dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun
lebihkomprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang
terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan
perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh
sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu,
karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi
antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang
diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah
yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu
dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan
antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin
dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon
tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan
mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya
masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian
seterusnya.
Aliran psikologi
belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan
praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik.
Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil
belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya,
mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau
perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata.
Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
C.
Teori
Belajar Kognitivisme
Belajar
seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam
upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan
belajar merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses
belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang
baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap, dan ketrampilan.
Menurut
teori belajar kognitif pada dasarnya setiap orang dalam bertingkah laku dan
mengerjakan segala sesuatu senantiasa dipengaruhi oleh tingkat-tingkat
perkembangan dan pemahamannya atas dirinya sendiri. Setiap orang memiliki
kepercayaan, ide-ide dan prinsip yang dipilih untuk kepentingan dirinya.
Teori
kognitif berasal dari teori kognitif dan teori psikologi. Aspek kognitif
mempersoalkan bagaimana seseorang memperoleh pemahaman mengenai dirinya dan
lingkungannya dan bagaimana ia berhubungan dengan lingkungan secara sadar.
Sedangkan aspek psikologis membahas masalah hubungan atau interaksi antara
orang dan lingkungan psikologisnya secara bersamaan. Psikologi kognitif
menekankan pada penting proses internal atau proses-proses mental. Menurut
teori belajar kognitif, belajar merupakan proses-proses internal yang tidak dapat
diamati secara langsung.
Menurut
peaget (dalam Hudoyono,1988:45) Manusia berhadapan dengan tantangan,
pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secara kognitif
(mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum atau
rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan
pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan cara itu, pengetahuan seseorang
terbentuk dan selalu berkembang.
Diantara
para pakar teori kognitif, paling tidak ada tiga yang terkenal yaitu:
1. J.Piaget
Menurutnya kegiatan
belajar terjadi sesuai dengan pola-pola perkembangan tertentu dan umur
seseorang, serta melalui proses asimilasi, akomodasi dan equilibrasi.
Tahap-tahap perkembangan itu adalah :
a. Tahap
Sensorimotor (umur 0-2 tahun)
b. Tahap
preoperasional (umur 2-7/8 tahun)
c. Tahap
operasional konkret (umur 7/8-11/12 tahun)
d. Tahap
operasional formal (umur 11/12-18 tahun)
Menurutnya , proses belajar akan terjadi jika
melalui tahap-tahap asimilasi, akomodasi dan equilibrasi/penyeimbangan. Asimilasi
merupakan proses pengintegrasian atau penyatuan informasi baruke dalam struktur
kogniitif yang telah dimiliki oleh seseorang. Akomodasi merupakan proses
penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru, sedangkan equilibrasi
merupakan penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
2. Brunner
Dengan teorinya free discovery learning mengatakan bahwa
belajar terjadi lebih ditentukan oleh cara seseorang mengatur pesan/informasi,
dan bukan ditentukan oleh umur. Menurut Brunner tahap perkembangan kognitif
terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan,
yaitu:
a.
Tahap Enaktif,
seseorang melakukan aktifitas-aktivitas dalam upayanuntuk memahami lingkungan
sekitarnya, artinya dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan
pengetahuan motorik. Misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dsb.
b.
Tahap Ikonik,
seseorang memahami objek-objek/dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi
verbal, maksudnya dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk
perumpamaan(tampil) dan perbandingan (komparasi).
c.
Tahap Simbolik,
seseorang telah mampuh memiliki ide-ide/gagasan-gagasan abstrak yang sangat
mempengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika.
3.
Ausubel
Menurutnya bahwa proses belajar terjadi jika seseorang
mampuh mengasimilasikan pengetahuan yang yelah dimilikinya dengan pengetahuan
baru. Proses belajar melalui tahap-tahap memperhatikan stimulus, memahami makna
stimulus, menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
Salam kegiatan
pembelajaran, keterlibatan siswa secara aktif amat diperhatikan. Untuk menarik
minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengetahuan baru
dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Materi pelajaran disusun
dengan menggunakan pola/logika tertentu, dari sederhana ke kompleks. Perbedaan
individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat
mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.
D.
Teori
Belajar Konstruktivisme
Konstruktivisme
adalah integrasi prinsip yang diekplorasi melalui teori chaos, network, dan
teori kekompleksitas dan organisasi diri. Belajar adalah proses yang terjadi
dalam lingkungan samar-samar dari peningkatan elemenelemen inti- tidak
seluruhnya dikontrol oleh individu. Belajar (didefinisikan sebagai pengetahuan
yang dapat ditindak) dapat terletak di luar dirikita (dalam organisasi atau
suatu database), terfokus pada hubungan serangkaian informasi yang khusus, dan
hubungan tersebut memungkinkan kita belajar lebih banyak dan lebih penting dari
pada keadaan yang kita tahu sekarang.
Konstruktivisme
diarahkan oleh pemahaman bahwa keputusan didasarkan pada perubahan yang cepat.
Informasi baru diperoleh secara kontinu, yang penting adalah kemampuan untuk
menentukan antara informasi yang penting dan tidak penting. Yang juga penting
adalah kemampuan mengetahui kapan informasi berganti (baru). Prinsip-prinsip
konstruktivisme sebagaimana yang diungkapkan Siemens (2005) adalah:
a. Belajar
dan pengetahuan terletak pada keberagaman opini.;
b. Belajar
adalah suatu proses menghubungkan (connecting)sumber-sumber informasi tertentu;
c. Belajar
mungkin saja terletak bukan pada alat-alat manusia;
d. Kapasitas
untuk mengetahui lebih banyak merupakan hal yang lebih penting dari pada apa
yang diketahui sekarang;
e. Memelihara
dan menjaga hubungan-hubungan (connections) diperlukan untuk memfasilitasi
belajar berkelanjutan;
f. Kemampuan
untuk melihat hubungan antara bidang-bidang, ide-ide, dan konsep merupakan inti
keterampilan;
g. Saat
ini (pengetahuan yang akurat dan up-to-date) adalah maksud dari semua aktivitas
belajar konektivistik;
h. Penentu
adalah proses belajar itu sendiri. Pemilihan atas apa yang dipelajari dan makna
dari informasi yang masuk nampak melalui realita yang ada.
Konstruktivisme
juga menyatakan tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan aktivitas. Pengetahuan
yang dibutuhkan dihubungkan (to be connected) dengan orang yang tepat dalam
konteks yang tepat agar dapat diklasifikasikan sebagai belajar. Behaviorisme,
kognitivisme, dan konstruktivisme tidak menyatakan tantangan-tantangan dari
pengetahuan organisasional dan pergantian (transference).
Aliran
informasi dalam suatu organisasi merupakan elemen penting dalam hal efektifitas
secara organisasi. Aliran informasi dianalogikan sama dengan pipa minyak dalam
sebuah indusri. Menciptakan, menjaga, dan memanfaatkan aliran informasi
hendaknya menjadi kunci aktivitas organisasional. Aliran pengetahuan dapat
diumpamakan sebagai sebuah sungai yang berliku-liku melalui ekologi suatu
organisasi. Di daerah tertentu meluap dan di tempat lain airnya surut. Sehatnya
ekologi belajar dari suatu organisasi tergantung pada efektifnya pemeliharan
aliran informasi.
Analisis
jaringan sosial merupakan unsur-unsur tambahan dalam memahami model-model
belajar di era digital. Art Kleiner (2002) menguraikan quantum theory of trust
milik Karen Stephenson yang menjelaskan tidak hanya sekadar bagaimana mengenal
kapabelitas kognitif kolektif dari suatu organisasi, tetapi bagaimana mengolah
dan meningkatkannya.
Starting
point konstruktivisme adalah individu. Pengetahuan personal terdiri dari jaringan,
yang hidup dalam organisasi atau institusi, yang pada gilirannya memberi umpan
balik pada jaringan itu, dan kemudian terus menerus member pengalaman belajar
kepada individu. Gerak perkembangan pengetahuan (personal ke jaringan ke
organisasi) memungkinkan pebelajar tetap mutakhir dalam bidangnya melalui
hubungan (connections) yang mereka bentuk.
E. Teori Belajar Humanistik
Teori
humanis pula berpendapat pembelajaran manusia bergantung kepada emosi dan
perasaannya. Seorang ahli mazhab ini, Carl Rogers menyatakan bahawa setiap
individu itu mempunyai cara belajar yang berbeza dengan individu yang lain.
Oleh itu, strategi dan pendekatan dalam proses pengajaran dan pembelajaran
hendaklah dirancang dan disusun mengikut kehendak dan perkembangan emosi pelajar
itu. Beliau juga menjelaskan bahawa setiap individu mempunyai potensi dan
keinginan untuk mencapai kecemerlangan kendiri. Maka, guru hendaklah menjaga
kendiri pelajar dan member bimbingan supaya potensi mereka dapat
diperkembangkan ke tahap optimum.
Menurut
Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses
belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya
sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu
mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha
memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut
pandang pengamatnya.
Tujuan
utama teori humanistik adalah pendidik membantu siswa untuk mengembangkan
dirinya, untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan
membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Psikologi
humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini
adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas
fasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes
(petunjuk):
a.
Fasilitator
sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok,
atau pengalaman kelas;
b.
Fasilitator
membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam
kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum;
c.
Fasilitator
mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan
tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang
tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi;
d.
Fasilitator
mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas
dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka;
e.
Fasilitator
menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat
dimanfaatkan oleh kelompok;
f.
Di dalam
menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi
yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi
dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok;
g.
Bilamana
cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat
berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota
kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti
siswa yang lain;
h.
Fasilitator
mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga
pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai
suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa;
i.
Fasilitator
harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan
yang dalam dan kuat selama belajar.
Di dalam
berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali
dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.